Selasa, 17 Mei 2011

Baturaja



Aku kembali
Setelah sekian lama pergi
Menemui dinginnya malammu
Dalam keharibaan sunyimu

Sungai ogan..
Derumu adalah nyanyian segala..
Tentang kecewa..
Tentang rindu..
Dan tentang perpisahan..

Kini ku berdiri di hadapanmu..
Tatkala senja mentari yang memerah..
Mengecup kulitku dari balik rerimbunan

Aku ingin bersama mu lebih lama lagi
Dalam dinginmu dan dalam sunyimu
Gemercik airmu adalah suara cinta..
Lambaian dedaunan adalah adalah tarian berjuta kasih..

Aku cinta padamu Baturaja..
Seperti engkau menerimaku dengan sejuta ragam budayamu(baturaja, 07 mei 2011)

Senin, 09 Mei 2011

Mandikan Aku Bunda



Sebut saja Dewi namanya. Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan digelutinya. Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Dewi terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan. Beruntung pula, Dewi mendapat pendamping yang "setara " dengan dirinya, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Dewi baru saja diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Dewi meraih PhD. Konon nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula.
Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi. Saya pernah bertanya , " Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal " Dengan sigap Dewi menjawab : " Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Everything is ok." Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya. " Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek Alif, ibunya dewi bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Dewi bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini "dapat memahami" orang tuanya. Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Dewi, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Dewi bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak seperti Alif. Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby-sitternya. " Alif ingin bunda mandikan." Ujarnya. Karuan saja Dewi yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar.Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby-sitternya. Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan," Bunda, mandikan Alif " begitu setiap pagi. Dewi dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian. Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. " Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency". Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya. Dewi, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. " Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif." Ucapnya lirih, namun teramat pedih. Ketika tanah merah telah mengubur jasad sikecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu berkata, " Ini sudah takdir, iya kan? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan ?". Saya diam saja mendengarkan. " Ini konsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Dewi tertunduk. "Aku ibunya !" serunya kemudian, " Bangunlah Lif. Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif". Rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-kais tanah merah


Di angkat dari kisah nyata

Selasa, 03 Mei 2011

TOLAK KOMERSIALIASI PENDIDIKAN


Rasanya sudah tidak ada perdebatan lagi diantara semua kalangan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan kolektif yang amat penting bagi masyarakat sebuah negara, dan sesuai dengan amanah konstitusi pihak yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan ini adalah Pemerintah.
Salah satu isu pendidikan yang akhir-akhir ini mendapat sorotan publik adalah masalah kebijakan. Kebijakan merupakan instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan akan berhasil apabila kebijakan yang dihasilkan tidak saja rasional tetapi juga partisipatif. Pengalaman di Indonesia menunjukan, bahwa kebijakan-kebijakan pendidikan yang lahir selalu tidak memuaskan semua pihak. Bahkan, tidak jarang bernasib jelek. Fakta memperlihatkan, banyak kebijakan pendidikan di Indonesia pada tingkat implementasi menimbulkan persoalan serius. Bukan saja tidak berhasil tetapi pada titik tertentu menimbulkan persoalan baru. Karena itu wajar, jika ada diantara anak bangsa kembali mempersoalkan kebijakan-kebijakan pendidikan. Bukankah ini pertanda ada kegetiran sebagai akibat logis dari gonta-ganti kebijakan, padahal kebijakan yang sifatnya makro diharapkan tidak sedemikian nasibnya. Pada tingkat implementasi menimbulkan kebingungan dan kehawatiran pada rakyat Indonesia, Apa yang bisa dikatakan atas kenyataan ini, padahal sudah berapa anggaran yang dihabiskan. Jujur, bahwa sejauh ini perumusan kebijakan kurang mempertimbangkan aspek kesejahteraan rakyat.
Apakah negara melalui policy maker-nya kurang cerdas sehingga melahirkan kebijakan yang kurang cerdas pula, ataukah terlalu begitu saja mempercayai model rasionalitas instrumen yang dianggap sebagai metodologi paling efektif dan efisien untuk mengintervensi lajunya permasalahan pendidikan.
Rasionalitas instrumen yang dikembangkan merupakan tameng akademis. Pada satu sisi menafikkan realitas Kesejahteraan Rakyat yang berada dalam situasi senjang. Tentu kita tidak bermimpi dan tidak akan mau bermimpi agar sekolah dijadikan laboratorium praktik sebuah pasar yang bersembunyi dibalik jubah birokrasi pendidikan tingkat pusat yang memang determinan.
Kepentingan pendidikan tersebut harus diletakkan dalam konteks keberagaman realitas yang memang senjang. Di sinilah akan tercipta parelelisme dengan proses pembebasan manusia. Namun karena kepentingan yang positivistik, maka birokrasi pendidikan ironis sering tercabut dari masyarakat dan berlakunya bersifat determinan terhadap komunitas pendidikan. Pimpinan birorasi pendidikan hanya merupakan representasi kepentingan penguasa. Akibatnya kebijakan yang dilahirkannya inkrementalis. Olehnya kita terus mengalami situasi keterjebakan dalam lingkaran lama.
Untuk keluar dari situasi keterjebakan ini sudah saatnya kalau kita merunjukpada model rasionalitas komunikatif. Sebab, bukankah pendidikan juga merupakan salah satu sektor publik yang dapat mengemansipasi warganya.
Berangkat dari hal itu seharusnya pemerintah harus cerdas, format sekolah bertaraf internasional(RSBI) yang dilakukan pemerintah tidak hanya membuat aparatus sekolah memaksakan diri mereka untuk segera berganti “papan nama”, tapi juga membuat kesenjangan sosial, sebab format sekolah bertaraf internasional membolehkan sekolah untuk memungut biaya operasional pendidikan kepada peserta didik dengan angka sangat mahal, maka sekolah ini hanya bisa dinikmati oleh kaum kaya.
Maka dengan sangat tegas kami mengatakan “TOLAK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN ; DENGAN MENINJAU KEMBALI KEBIJAKAN RSBI, TERAPKAN ANGGARAN 20% PENDIDIKAN DI LUAR GAJI GURU, NASIONALISASI ASET STRATEGIS BANGSA DEMI KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN INDONESIA”.
Palembang, 2 Mei 2011
Kordinator Lapangan


Chandra Baturajo