Rabu, 04 Januari 2012

pemuda, pendidikan dan perubahan sosial

A. Pendahuluan

Rasanya sudah tidak ada perdebatan lagi dihampir setiap kalangan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting bagi fondasi sebuah Negara, dan sesuai amanah konstitusi pihak yang berkewajiban untuk menyelenggarakannya adalah pemerintah.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh suyanto bahwa Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia itu sendiri ( Suyanto : 2006 ). Maka baik pemerintah maupun masyarakat diharapkan selalu berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar dan kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia. (irwan prayitno : 2009 )
Mengingat pentingnya pendidikan tersebut, maka sudah selayaknya pemerintah memberikan perhatian khusus dalam sektor pendidikan ini, bukan kemudian malah menjadi pendidikan sebagai laboratorium politik, sebagai sarana berkampanye dan sebagainya.
Dalam berbagai kesempatan kita sering mendengar diskusi tentang peran pemuda dalam merespon berbagai persolan bangsa, dalam tulisan kali ini, penulis akan coba menyoroti fungsi pemuda dalam merokonstruksi pendidikan saat ini yang semakin jauh dari tujuan pendidikan itu sendiri.
Diskursus tentang intelektual dan kepemimpinan kaum muda intelektual telah menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan. Namun, sampai saat ini, kita masih merindukan kehadiran seorang intelektual muda yang menonjol dan mampu memberikan solusi bagi persoalan bangsa ini.
Kaum muda merupakan katalis yang mampu mengangkat kepentingan masyarakat yang berhadapan dengan kekuasan. Kehadiran kaum muda merupakan sebagai lokomotif pembaruan. Sekalipun perjuangan kaum muda mewakili berbagai spektrum ideologi, bahkan keragaman itu membuktikan betapa kaum muda mampu mengawal bangsa ini dengan penuh kepeloporan dan intelektualisme, namun sejarah juga mencatat betapa kaum muda kerap dilanda persoalan.
Kaum muda mempunyai logika sendiri yang berbeda pada setiap zamannya. Pemuda angkatan 1908-1945, 1945-1966, 1966-1978, 1978-1998 sampai dengan 1998-sekarang, mempunyai kompleksitas persoalan dan karateristik yang berlainan, sehingga dalam pemikirannya mereka harus lebih jitu dalam menghadapi persoalannya. Kini di era keterbukan, dimana transformasi perkembangan dunia dapat di akses dengan mudah dan cepat, aktifitas kaum muda seolah mengalami kegamangan, sebabnya pertama, lemahnya kaum muda melakukan konsolidasi dan penguatan jaringan. Kedua mandulnya gagasan dan ide yang menjadi ciri mereka akibat tinginya infiltrasi elit yang menjadikan kaum muda sebagai kuda troya kepentingan politik. Ketiga, pragmatisme kaum muda mengakibatkan mereka tidak lagi kritis dan objektif dalam menyelesaikan sebuah persoalan. Ironisnya semua ini terjadi pada saat bangsa saat ini menghendaki kaum muda untuk terus mengawal agenda refomasi yang belum tuntas.
Kita sudah pernah mendengar betapa heroiknya pemuda dalam merespon berbagai kondisi kebangsaan, seperti terkonsolidasinya pemuda hingga tercetusnya sumpah pemuda tahun 1928, ikut sertanya kaum muda dalam perjuangan kemadekaan 1945, pada tahun 1965 pun ikut dalam menjaga cita cita perjuangan kemadekaan yang hampis dsalah arahkan, termasuk memotori perjuangan melawan rezim fasis orde baru.
Saat ini kita berada pada bulan yang sama dimana semangat persatuan kaum muda itu terjadi, dalam kesempatan semangat itulah penulis coba merefleksi fungsi pemuda dalam perbaikan bangsa terkhususnya pada sektor pendidikan. Mengembalikan jati diri bangsa ini, sesuai dengan tujuan pendidikan yang didefinisikan oleh ki hajar dewantara, sebagai upaya memanusiakan manusia.

B. Pemuda, pendidikan dan perubahan social.

1. Peran pemuda
Keberadaan pemuda dalam kehidupan kemanusiaan sangatlah penting, karena mereka potensial untuk mewarnai perjalanan sejarah umat manusia. Pemuda adalah calon pemimpin masa depan. Merekalah yang akan merubah umat, menjadi baik dan jaya atau malah sebaliknya. Bila diarahkan secara baik, jiwanya tidak ternoda oleh lumpur kebatilan, sebaliknya terjaga kebersihanya, suci dalam fitrahnya, jauh dari unsure kehidupan maka ia akan menjadi motor penggerak utama kesucian dan perbaikan. Kondisi generasi muda oleh karenanya merupakan parameter masa depan suatu bangsa. Apabila kondisi pemudanya baik akan baik pula kondisi bangsa tersebut dimasa depan. Begitupula sebaliknya.
Menurut Amin sudarsono dalam bukunya Ijtihad membangun basis gerakan peranan pemuda dirasakan penting karena mereka mempunyai beberapa potensi, yaitu bathul hmmah fi at tasaaulat (membangkitkan semangat bertanya/kritis), naqlul ajyaal (memindahkan dari generasi ke generasi), istibdaalul ajya (menukar/mengganti suatu generasi), tajdid maknawiyah al ummah (memperbaruhi moralitas ummat) dan anasir islah (unsur perubah).(amin sudarsono : 2010)
Kehadiran pemuda atau mahasiswa ini sangat dielu elukan bagi menyongsong suatu perubahan dan pembaharuan. Aksi reformasi di segala bidang juga peran pemuda dalam membawa masyarakat madani. Perubahan yang dibawa pemuda ini tidak mungkin dapat dibawa oleh orang tua ataupun anak anak.
Dahulu dalam suasana hiruk pikuk perang merebut kemardekaan, pemuda pemuda dari berbagai pulau di Indonesia berkumpul (ada jong Java, jong Andalas, jong Borneo, jong Celebes jong Ambon dan lainnya) dalam satu tekad : satu Indonesia. Dan ikrar sumpah pemuda pun berkumandang pada tangga 28 oktober 1928. Suatu prestasi hebat para pemuda di massanya yang patut di apresiasi dan diteladani pemuda masa kini. Ini merupakan kelanjutan dari kebangkitan nasional yang juga dimotori oleh pemuda Indonesia pada 1908.
Kita membaca dalam berbagai literature, bagaimana peran sentral pemuda dari berbagai negeri dalam perjuangan membangun bangsa, baik perjuangan fisik maupun secara diplomasi, organisasi sosial politik, dan intelektual. Perang merebut dan mempertahankan kemardekaan adalah ladang tumbuh suburnya heroisme pemuda. Pemuda yang hidup dalam suasana pergolakan akan cenderung memiliki kreativitas tinggi untuk melakukan perubahan atas berbagi kerumitan yang dihadapi. Tetapi pemuda yang hidup dalam nuansa nyaman dan tenang cenderung mempertahankan situasi yang ada tanpa usaha keras melakukan perubahan yang lebih baik dan produktif (taufik amrulah : 2008 )
Pemuda Indonesia yang tersebar dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa saat ini sebenarnya mampu menjawab tantangan perubahan dengan kapasitas dan energi yang dimilikinya. Kepemimpinan kaum muda sebagai solusi alternative bagi kemandegan reformasi dan demokratisasi patut mendapatkan respon dari kaum muda sendiri.
Spirit sumpah pemuda seharusnya bisa terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi apa mau dikata persoalan bangsa kita terlalu banyak terkhususnya dalam bidang pendidikan. Adalah tugas dari pemerintah untuk melaksanakan fungsinya yang mendasar, yakni melakukan stabilisasi, alokasi maupun distribusi secara ekonomi, social dan politik kepada seluruh rakyat Indonesia. Rasa keadilan masyarakat adalah modal utama membangun masyarakat. Runtuhnya kepercayaan masyarakat akan menimbulkan kerawanan sosial yang memicu kerumitan selanjutnya.




2. Wajah pendidkan Indonesia
Kerumitan kerumitan wajah pendidikan Indonesia saat ini terlampau kompleks, dan membutuhkan alternative solusi yang memang visioner. Faktanya adalah :
Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
Laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara. Tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan jika dibandingkan dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar (132) dan Laos (135) (www.suarapembaruan.com/16 juli 2004 dan Pan Mohamad Faiz. 2006).
Sehingga secara dunia, kualitas pendidikan di Indonesia hanya berkisar pada ranking 114 sementara Vietnam pada urutan 101. Untuk diketahui, kualitas pendidikan nomor satu di dunia adalah Negara Finlandia.
Dengan memenuhi amanat konstitusi dan peningkatan kualitas pendidikan maka Indek Pembangunan Manusia (IPM) bangsa Indonesia akan meningkat. IPM Indonesia pada tahun 2006 berada pada peringkat 108 dunia sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini.
Peringkat IPM dari tahun 2001 s.d. 2006 (UNDP: Human Development
Report) :

















Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran-rakyat.com). Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% (news.okezone.com). Dalam hal tawuran, di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat, dalam satu hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga tempat sekaligus (www.smu-net.com).
Pencapaian APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) sebagai indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh pemerintah, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. (www.republikaonline.com) sampai sekarang masih terdapat 9 provinsi dengan jumlah buta aksara terbesar usia 10 tahun ke atas dan 15-44 tahun, yakni: Jawa Timur (1.086.921 orang), Jawa Tengah (640.428), Jawa Barat (383.288), Sulawesi Selatan (291.230), Papua (264.895), Nusa Tenggara Barat (254.457), Nusa Tenggara Timur (117.839), Kalimantan Barat (117.338), dan Banten (114.763 orang). (www.pikiran-rakyat.com).
Data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. (www.worldbank.com).
Perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah berlangsung sejak 2004 dinilai oleh pengamat ekonomi Tim Indonesia Bangkit (TIB), Revrisond Bashwir sebagai agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi sektor pendidikan. Semua satuan pendidikan (sekolah) kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi. Walaupun pada akhirnya di anulir oleh Mahkamah konstitusi karena dinilai inkonstitusional, tapi hal ini tidak akan menghalangi niat pemerintah untuk mencari jalan lain memprivatisasi sector pendidikan di Indonesia.
Kebijakan UN yang banyak ditentang oleh masyarakat karena dinilai diskriminatif dan hanya menghamburkan anggaran pendidikan, antara lain ditentang oleh Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan (www.tokohindonesia.com).
Rendahnya tingkat kesejahteraan guru yang berpengaruh terahadap rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. Guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit. Ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No.20/2003 pasal dinyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1). Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).Tahun 2007 hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun.(www.tempointeraktif.com).
Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Pada tahun 2009 diperkirakan ada 116,5 juta orang yang akan mencari kerja (www.kompas.com).
Data di atas merupakan beberapa indikator yang menunjukan betapa sistem pendidikan nasional kita saat ini tengah didera oleh berbagai problematika, yang pada akhirnya penyelenggaraan pendidikan tidak dapat memberikan penyelesaian terhadap permasalahan pembentukan karakter insan yang berakhlak mulia, pembentukan keterampilan hidup, penguasaan IPTEK untuk peningkatan kualitas dan taraf hidup masyarakat, serta memecahkan berbagai problematika kehidupan lainnya. Padahal diantara tujuan semula pendidikan adalah untuk itu semua.
Saya bukanlah hakim dan tulisan saya ini bukan pula putusan hukum, saya hanya sedang berikhtiar memahami pelbagai masalah yang menggelayuti sektor pendidikan kita lalu menempatkannya dalam konteks bagaimana kemudian peran pemuda dalam memberikan solusi solusi konstruktifnya. Dalam beberapa kisah kita bisa mendapatkan bagaimana para pemuda memberikan alternative solusi yang itu tidak terfikirkan oleh elit negara ini. Sebab naïf sekali jika melihat begitu kompleksnya masalah dinegara ini sementara kita sebagai kaum muda menyerahkan sepenuhnya permasalahan ini kepada pemerintah yang sedang berkuasa yang mungkin pemerintah berkuasa juga tengah bingung mencari jalan keluar dari masalah tersebut.
Kita mahasiswa sebagai representasi kaum muda intelektual sebab mengalami proses pendidikan terlama memiliki hak dan kewajiban sejarah untuk merespon berbagai kondisi kebangsaan dengan langkah nyata. Bila kita menyoal peran pemuda maka melihat fenomena kepemimpinan disini hendaknya kita merujuk kepada kepemimpinan kaum muda dalam memipin kebangkitan bangsa ini dan membenahi berbagai permasalahan terkhususnya bidang pendidikan.
Kaum muda dalam perspektif intelektual dan kepemimpinan layaknya seperti bermain selancar. Sekali waktu ada di dalam ombak sambil mengemudikan papan selancar sambil memahami kemana arus air membawanya. Sekali waktu harus berada di atas ombak seakan mampu menunjukan jati dirinya dapat mengendalikan ombak.
Karkteristik kepemimpinan dan intelektual kaum muda terbagi dalam tiga karakter. Pertama, kaum muda yang mempunyai ide-gagasan, kreatif, kritis, dan mau tampil. Tipe pemuda ini, sebagai kaum muda yang paripurna. Kedua, kaum muda yang mempunyai ide-gagasan, kreatif, kritis, tapi tidak mau tampil. Men of behind, yaitu jenis kaum muda dengan kualitas baik. Ketiga, tipe kaum muda yang tidak punya ide-gagasan, tidak kreatif, tidak kritis dan tidak mau tampil. Jenis kaum muda ini pasif cenderung menjadi benalu dalam setiap aktifitas yang melingkari kaum muda.
Kaum muda diharapkan mampu berperan sebagai sebagai agent of change. Oleh karena itu basis intelektualisme merupakan syarat penting bagai kaum muda. Pemahaman intelektual disini merupakan sebuah komitmen alamiah berupaya mengejar kebenaran serta keterlibatan bersama mereka dalam wacana nalar-kritis, mengambil jarak pada kekuasan dan mampu mempertahankan suatu prespektif kritis atas kekuasan.
Disinilah sosok kaum muda diuji. Bukan sekedar penguasaan akan gagasan atau seberapa banyak ide keratif digunakan, namun kemampuan leadership kaum muda juga harus diisi melalui penguatan manajerial yang tangguh dalam membangun secara kolektif dengan masyarakat disekelilingnya. Dengan begitu menjadi sosok pemimpin muda yang intelektual harus mempunyai moral perjungan dan mental. Siap untuk berbeda pandangan dan berani menunda kesenangan sesaat yang menjebaknya.
Tugas seorang intelektual dan pemimpin kaum muda kedepan hendaknya mengarah pada pengembangan potensi leadership dan manajerial yang tangguh. Ia menjadi pemikir sekaligus menjadi aktor pada setiap zamanya. Artinya kekuatan manajerial cendekiawan (muda) mampu membangun proses yang tangguh dan dapat memberikan efek bagi masyarakat. Oleh karena penggelolan manajemen mempunyai arti penting dalam mengembangkan pontensi individu seorang intelekutal.
Pengembangan kualitas tersebut setidaknya ada tiga pendekatan.
Pertama yaitu approach by evolution atau pendekatan evolutif, yang cenderung bersifat tradisional. Dimana seseorang berkembang melalui proses institusi yang terlembaga. Namun, ironisnya hampir tidak ada yang melakukan suatu pendekatan untuk belajar secara mandiri, akibatnya kualitas bangsa Indonesia makin lama makin menurun, sebab pengaruh luar terpolakan secara evolutif dan memberikan persaingan yang lebih terbuka bagi kualitas seseorang.
Kedua, approach by force. Pendekatan yang bersifat memaksa. Pola pendekatan yang terbentuk berdasarkan target yang telah ditentukan. Kedisiplinan menjadi acuanya. Namun pola ini kerap membuat orang menjadi frustasi dikarenakan akan dikejar waktu. Sehingga sebagai gantinya, sekarang ini bangsa Indonesia harus mencari alternatif lain. Yaitu,
pendekatan ketiga, approach by education atau pendekatan bersifat mendidik. Dimana untuk belajar, seseorang tidak harus berdasarkan proses belajar-mengajar formal, tetapi dapat dilakukan dimana saja. Dengan target peningkatan kualitas setiap individu.
Pendekatan ketiga ini, apabila berhasil dilakukan maka kualitas sumberdaya manusia Indonesia di semua level akan lebih terangkat. Jika sudah demikian, maka yang dapat eksis hanyalah sumberdaya manusia yang produktif dan efisien. Di masa akan datang, orang yang berhasil adalah orang yang mampu membangun kualitas intelektualnya yang baik, yaitu melalui approach by education yang bersifat produktif dengan manajemen yang efisien. Dalam hal ini, ukuran orang atau sumberdaya manusia yang baik di masa mendatang dalam kaitanya dengan pasar global adalah sumberdaya manusia yang intelektual, produktif dan efisien

3. Perubahan social

Rekayasa perubahan sosial adalah sebuah proses perencanaan, pemetaan dan pelaksanaan dalam konteks perubahan struktur dan kultur sebuah basis social msyarakat. Perubahan social adalah perbedaan antara kondisi sekarang dengan kondisi sebelumnya terhadap aspek aspek dari struktur social (Amin Sudarsono : 2010)
Masih menurut Amin Sudarsono, Perubahan sosial setidaknya dapat terkait pada empat hal sebagai berikut : pertama, perkembangan teknologi; kedua, konflik social(antar agama, ras dan kelas –sebagaimana tesis marx-). Ketiga, kebutuhan adaptasi dengan system sosial (missal: birokrasi efektif sebagai respon terhadaplingkungan kompetitif), keempat, pengaruh dari idealisme dan ideologi pada aktivitas sosial (sebagaimana tesis weber : etika protestan dan semangat kapitalisme)
Selain itu, dalam disiplin sosiologi, terdapat dua pandangan tentang perubahan (change), yaitu pertama pandangan materialistik, yang meyakini bahwa tatanan masyarakat sangat ditentukan oleh teknologi atau benda. Marx menyatakan bahwa kincir angin menimbulkan masyarakat feodal; mesin uap menciptakan masyarakat kapitalis industri. Atau kita bisa mengatakan bahwa internet akan menimbulkan masyarkat informasi. Kedua, pandangan idealistik, yang menekankan peranan ide, ideologi atau nilai sebagai faktor yang mempengaruhi perubahan. Dalam pandangan ini, misalnya, Islam sebagai sebuah idologi dan struktur nilai akan mampu mencipta manusia dan masyarakat ideal
Setidaknya terdapat tiga bentuk perubahan syang disepakati kalangan ilmuan sosial : evolusi, revolusi dan reformasi.
Evolusi difahami sebagai bentuk perubahan yang memakan waktu lama. Proses perubahan cenderung hanya melingkar di tingkat elit dan sedikit sekali mengakomodasi input dari grass root yang muncul kepermukaan sebagai reaksi atas berbagai kebijakan elit penguasa. Konsekuensi logis dari model ini akanmenempatkan rezim penguasa pada keleluasaan menentukan agenda perubahan yang ada, berdasar pada “aman atau tidak” bagi kekuasaannya
Bentuk kedua adalah revolusi, perubahan secara cepat ini cukup populer dikalangan gerakan sosial atau aktivis pembebasan. Dalam prosesnya, cara ini cukup beresiko. Bisa jadi dalam prosesnya yang singkat tersebut meminta banyak korban sebagai prasyarat dari proses yang memang cukup reaktif dan terkesan seporadis dari sisi waktu maupun agenda agenda yang dialakukan. Hasil dari cara ini dapat dilihat dengan cepat, karena secara umum bertujuan pada perubahan politik, khususnya perubahan tampuk kekuasaan.
Sementara yang ketiga, reformasi didefinisikan sebagai sebuah bentuk perubahan yang gradual dan parsial. Tidak terlalu cepat, namun juga tidak terlambat. Reformasi merupakan bentuk kompromi antara evolusi dan revolusi. Reformasi atau oembaharuan (perubahan yang signifikan atas hal yang dianggap menyimpang), elah berlangsung di berbgai belahan dunia sejak zaman renaissance abad ke-15 masehi
Gerakan reformasi acapkali terjadi, manakala seorang pemimpin berlaku korup dan manipulatif, sehingga diperlukan langkah-lngkah politik yang berarti dari rakyat untuk melakukan perbaikan. Atau, bila rakyat merasakan adanya kekurangan dalam sistem konstitusi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Dengan kedua alasan inilah, apa yang terjadi di korea selatan dengan up-rising in kwangju tahun 1986. Di cina dengan tragedi Tianenmen 1989, dan penggulingan soeharto di Indonesia tahun 1998. Merupakan gerakan reformasi yang berdampak pada penyelenggara negara
Setelah semuanya saya paparkan diatas, dalam tulisan ini saya ingin mengajak bagaimana kemudian semangat kaum muda serta cita cita dan tujuan pendidikan itu bisa tertransformasikan dan melakukan perubahan sosial. Menurut ki hajar dewantara pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Berangkat dari definisi tersebut seharusnya pendidikan bisa menjadi senjata dalam upaya melakukan perbaikan dan perubahan social, melakukan pengajaran kepada anak bangsa sebagai generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan di Negara ini. Pemimpin yang memang memiliki jiwa negarawan bukan yang hanya memimpin sebagai prestise yang tak berprestasi, atau malah menjadikan posisi kepemimpinan sebagai sarana untuk memperkaya diri sendiri.
Memberikan pendidikan yang baik kepada masyarakat dan kepada generasi baru akan memberikan pengaruh yang signifikan dalam mempengaruhi proses perubahan social kearah yang lebih baik, sebab penulis beranggapan kenapa kemudian pada sector kepemimpinan dak kebijakan permasalahan itu selalu muncul, bahkan kebijakan yang diambil untuk menyelesaikan permasalhahn tersebut tak jarang malah melahirkan masalah baru. Hal ini menurut saya karena pemimpin yang kualitas yang dilahirkan oleh proses demokrasi kita. Saya tidak hendak menyalahkan demokrasi, bahkan demokrasi ibarat hujan yang menyeruak kegersangan diktatorisme yang menghantui Negara ini lebih dari tiga puluh tahun, tapi masalahnya kemudian demokrasi itu hadir di Indonesia disaat perut rakyatnya masih lapar dan otak mereka belum cerdas.
Pada titik inilah pendidikan menjadi penting dalam upaya melakukan perubahan sosial, memberikan pengajaran agar kemudian rakyat bangsa ini bisa menentukan sendiri nasib mereka tanpa intervensi politik segelintir elit yang culas, yang memanfaatkan ketidak mengertian masyarakat. Tapi hal itu tidak akan bisa terjadi jika wajah pendidikan kita masih memiliki masalah masalah yang seperti saya paparkan diatas.
Semangat sumpah pemuda ini hendaknya bisa menjadi mild stone bagi perubahan wajah pendidikan Indonesia yang lebih baik, yang bisa memanusiakan manusia hingga tertransformasikan dalam wujud perubahan social dan perbaikan bangsa.












C. Kesimpulan

Pemuda adalah pilar kebangkitan, dalam setiap fase perjuangan pemudalah yang selalu berada pada garda terdepan perubahan, tak kenal takut, tak kenal lelah, berjuang tanpa pamrih siap berkorban atas setiap konsekuensi yang akan diterima. Dalam setiap momentum kepahlawanan, pemuda akan selalu memainkan perannya disana. Entah akan tercatat atau tidak dalam buku sejarah.
Ironisnya, fenomena saat ini sangat mengkhawatirkan, disaat permasalahan bangsa begitu kompleks, tapi malah kemudian pemuda mulai terfragmentasi oleh cara pandang yang berbeda, pragmatism serta hedonism menyerang kaum muda, perlahan namun pasti hal ini menjadi erosi dan menggerus idealisme serta semngat juang pemuda, sampai pada tahap ini integritas kaum muda diuji tentang keseriusannya sebagai motor penggerak perubahan.
Dalam semangat momentum sumpah pemuda ini, hendaknya kita mampu merefleksi serta menginternalisasikan nilai nilai persatuan dalam tubuh setiap pemuda di Indonesia, agar semangat persatuan itu tertransformasikan dalam bentuk solusi dan respon terhadap kondisi kebangsaan.
Saya memiliki keyakinan, setiap semangat dan ikhtiar untuk melakukan perubahan saat ini, sekecil apapun itu, pasti akan mempengaruhi apa yang akan terjadi dimasa depan, walaupun sampai saat ini keyakinan saya itu tidak bisa saya jelaskan dengan ilmiah. Tapi saya berharap waktu membantu saya menjelaskan hal itu secepat mungkin.






D. Daftar pustaka

Sudarsono Amin, 2010. Ijtihad membangun basi gerakan (Jakarta : Penerbit muda cendikia)

Prayitno Irwan, menyoroti anggaran pendidikan dalam rangka pembangunan pendidikan nasional makalah pada seminar nasional pendidikan, imakipsi wil.sumatera, lampung, 27 juni ‘09

Amrulah Taufik, 2008. KAMMI Menuju Muslim Negarawan meretas kebangkitan Indonesia ( Jakarta : penerbit muda cendikia)

Republika, 13 Juli, 2005

http://masadmasrur.blog.co.uk/2007/04/29/intelektual_dan_kepemimpinan_kaum_muda%7E2180940/

http://masadmasrur.blog.co.uk/2007/04/29/mencari_pemimpin_masa_depan%7E2180901/

http://masadmasrur.blog.co.uk/2007/08/25/dilema_pendidikan_nasional%7E2866871/

MENYOAL ANGGARAN PENDIDIKAN DALAM UPAYA MEMAJUKAN PENDIDIKAN NASIONAL

PENDAHULUAN
Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia itu sendiri (Suyanto, 2006:11). Maka baik pemerintah maupun masyarakat diharapkan selalu berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar dan kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia.
Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (2) mengamanatkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi, DPR RI mempunyai fungsi dan wewenang penganggaran (budgeting), dimana dalam setiap pembahasan RAPBN selalu fokus untuk mewujudkan amanah UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU RI No. 20 thn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1) yang menyatakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya adalah dua puluh persen dari APBN dan APBD.
Anggaran pendidikan sebesar 20% tahun ini (baru dicapai 20,1%) dari APBN 2009 sesungguhnya diawali dengan dorongan Komisi X DPR-RI terhadap Pemerintah untuk mewujudkan anggaran pendidikan sebesar 20% tersebut, guna menopang sekaligus mencapai tiga pilar pendidikan nasional yang termuat dalam Renstra Depdiknas, serta untuk mewujudkan program/prioritas kegiatan dalam rangka peningkatan kualitas pembangunan pendidikan.
Pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar (khususnya) sebagai amanat konstitusi yang diterjemahkan lebih lugas pada UU No. 20/2003, menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Dalam UU ini telah disebutkan secara afirmatif anak usia 6 (enam) tahun merupakan masa memasuki jenjang pendidikan dasar. Lebih lanjut ditegaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya {pasal 46 ayat (3) UU No. 20/2003, pasal 47 ayat (3), 48 ayat (2) dan 49 ayat (5)}. Artinya bahwa Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab besar dalam penjaminan terselenggaranya wajib belajar, terlebih pendidikan saat ini merupakan bagian dari otonomi daerah. Termasuk untuk mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai tindak lanjut amanat konstitusi dan UU No. 20/2003 tersebut, Pemerintah telah menerbitkan PP No.47 thn 2008 tentang Wajib Belajar dan PP No.48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan tgl 4 Juli 2008 sebagai bentuk implementasi operasional wajib belajar dan pendanaan pembangunan pendidikan di lapangan.






















PENDANAAN PENDIDIKAN
Untuk Pendanaan Pendidikan Pemerintah telah menerbitkan PP yaitu PP 48/2008. Dalam PP 48/2008 diatur tentang biaya pendidikan yang meliputi:
1. Biaya satuan pendidikan,
2. Biaya penyelenggaraan dan / atau pengelolaan pendidikan, dan
3. Biaya pribadi peserta didik.

Juga diatur tanggungjawab Pemerintah dan pemerintah daerah yaitu:
1. Pendanaan biaya investasi lahan dan biaya investasi selain lahan pendidikan, biaya personalia dan nonpersonalia untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
2. Pendanaan tambahan atas biaya investasi lahan dan biaya investasi selain lahan yang diperlukan untuk pemenuhan rencana pengembangan satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah.
3. Bantuan biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik: (i) yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya, dan (ii) yang berprestasi.
4. Membantu pendanaan biaya personalia dan nonpersonalia pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat.

Disamping itu, juga diatur tanggungjawab penyelenggara atau satuan pendidikan yaitu:
1. Pendanaan biaya investasi untuk lahan satuan pendidikan, biaya investasi selain lahan pendidikan, biaya personalia dan biaya nonpersonalia yang diselenggarakan masyarakat;
2. Pendanaan tambahan atas biaya investasi lahan dan biaya investasi selain lahan yang diperlukan untuk pemenuhan rencana pengembangan satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional dan atau berbasis keunggulan lokal yang diselenggarakan masyarakat;
3. Bantuan biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik:
a. yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya, dan
b. yang berprestasi.

Hal-hal lain yang diatur diantaranya adalah :
1. Peserta didik dan orang tua bertanggungjawab terhadap kekurangan pendanaan biaya investasi selain lahan, personalia dan nonpersonalia untuk satuan pendidikan menengah atas dan perguruan tinggi yang didirikan masyarakat,
2. Sumber pendanaan pendidikan bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat disesuaikan dengan kemampuan masing-masing,
3. Pungutan dana pendidikan dari peserta didik atau orang tua, sekurang-kurangnya 20% dari total dana pungutan digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan, dan
4. Pengalokasian dana pendidikan 20% dari APBN dan APBD diatur oleh MenKeu dan diberikan kepada pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam bentuk hibah.












ANGGARAN DEPDIKNAS
Sejak UU No. 20/2003 diundangkan sampai tahun anggaran 2008 (APBN-P 2008) faktanya belum pernah mencapai angka 20%, meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan No.: 24/PUU-V/2007 tanggal 20 Februari 2008 tentang Pengujian UU No. 20/2003 dan Pengujian UU RI Nomor: 18 Tahun 2006 tentang APBN 2007 terhadap UUD RI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa Pasal 49 ayat (1) UU No. 20/2003 sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan” bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD RI Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menyikapi amanah konstitusi, berbagai upaya telah dilakukan oleh Komisi X DPR-RI untuk memenuhi anggaran 20% pendidikan, diantaranya dengan melakukan Raker antara Komisi X DPR-RI dengan Menteri Koordinator Kesejahtaraan Rakyat, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Agama dan Menteri Keuangan pada hari Senin tanggal 4 Juli 2005.
Dengan menyadari keterbatasan keuangan negara untuk mencapai anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari APBN akan dilakukan secara bertahap. Keputusan Pemerintah dengan Komisi VI DPR-RI (1999-2004), menyepakati bahwa anggaran pendidikan adalah 6,6% pada tahun 2004 (sekitar Rp 20,5 triliun), menjadi 9,3% pada tahun 2005 (sekitar Rp 26,114 t), kemudian meningkat menjadi 12% pada tahun 2006 (sekitar Rp 40,255 t), selanjutnya menjadi 14,7% pada tahun 2007 (sekitar Rp 44,058 ), berikutnya menjadi 17,4 % pada tahun 2008 (sekitar Rp 45,254 t), dan terakhir 20,1% pada tahun 2009 (sebesar Rp 62,485 t). Dengan pengertian bahwa 20% APBN di atas dihitung dari Anggaran Belanja Pusat, yaitu: APBN dikurangi dengan Anggaran Daerah yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana bagi hasil pendapatan minyak dan gas bumi, serta sumber daya alam lain.
Formulasi besaran 20% dari APBN inipun menjadi persoalan tersendiri. Masih ada ketidak kesepakatan penentuan 20% untuk anggaran pendidikan antara DPR-RI dengan Pemerintah. Sehingga perlu ada persamaan persepsi terhadap anggaran pendidikan, dana pendidikan ataukah yang dimaksud adalah anggaran atau dana fungsi pendidikan? Ketiga definisi ini akan berbeda ketika dimunculkan dalam bentuk angka-angka. Belum lagi, penentuan perhitungan sebagai pembilang maupun pembagi. Dengan formulasi yang berbeda, maka Pemerintah dapat mengklaim bahwa anggaran pendidikan telah mencapai 20%.
Mengingat adanya perbedaan formulasi perhitungan besaran 20% antara Komisi X DPR-RI dengan Pemerintah, Komisi X DPR-RI pernah membentuk Panja Anggaran Pendidikan 20% yang pada tanggal 24 September 2007 memberikan rekomendasi diantaranya yaitu:
a. Agar definisi anggaran pendidikan dimasukkan di dalam ketentuan umum UU APBN 2008 dan,
b. Agar Komisi X DPR-RI menyampaikan kepada Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR-RI untuk meningkatkan anggaran pendidikan sesuai dengan amanah konstitusi.

Politik anggaran tersebut, utamanya merujuk pada tiga pilar kebijakan pendidikan yang tertuang dalam Renstra Depdiknas 2005-2009 yaitu:
1. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan,
2. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan, dan
3. Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan.

Untuk mewujudkan pendidikan bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau oleh rakyat secara umum, pada RAPBN TA 2009 masih berorientasi pada penuntasan wajar dikdas 9 tahun. Ini dapat terlihat pada anatomi anggaran yang lebih berbentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Murid (BOM), Ruang Kelas Baru (RKB), Unit Sekolah baru (USB), bansos dan lain sebagainya yang pada intinya lebih mengedepankan pada akses pendidikan dasar dan menengah. Dari alokasi anggaran tersebut di atas, hampir 50% dialokasikan untuk penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
ANGGARAN PENDIDIKAN UNTUK PENDIDIKAN TINGGI
Dari 7 (tujuh) unit utama di Depdiknas yang mendapat alokasi dana terbesar adalah Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen MPDM), kemudian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Ditjen MPDM mendapat alokasi dana sejumlah Rp 25,030 T dan Ditjen Dikti sejumlah Rp 18,475 T untuk tahun anggaran 2009. Sedangkan alokasi anggaran untuk PNFI Rp 2,462 T dan Balitbang sebesar Rp 1,0 T.
Untuk anatomi anggaran Dikti tahun 2008 tergambar pada tabel di bawah ini.













Dengan anatomi anggaran Dikti seperti tersebut di atas, maka peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan sangat rendah. Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi pada pilar pemerataan dan perluasan akses bagi penduduk usia 19-24 tahun yang berjumlah sekitar 25 juta untuk menjadi mahasiswa atau masuk perguruan tinggi, APK pada tahun 2005 hanya 15,26%, 2006 APK 16,91% dan 2007 APK 17,26%. Dibandingkan dengan Negara China sudah mencapai 20,3%, Philippina 28,1%, Malaysia 32,5%, Thailand 42,7% dan Korea 91%.












Membandingkan program wajib belajar yang dilaksanakan dibeberapa negara dan persentase anggaran pendidikan terhadap PDB tergambar sbb (World Development Indicator 2003) :

NEGARA COMPULSARY TINGKAT
1. Indonesia 6-15 tahun SMP
2. Malaysia 6-15 tahun SMP
3. Singapura 6-15 tahun SMP
4. Thailand 6-15 tahun SMP
5. Philipina 6-15 tahun SMP
6. Brunei 6-17 tahun SMA
7. Australia 6/7 -16 tahun Kelas 10
8. Canada 6-21 tahun Perguruan Tinggi
9. Amerika 6-16 tahun Kelas 10
NEGARA PERSENTASE ANGGARAN
1. Indonesia 1,4
2. Vietnam 2,8
3. Srilangka 3,4
4. Philipina 3,4
5. Brunai 4,4
6. Thailand 5,0
7. India 5,1
8. Malaysia 5,2
9. Korea Selatan 5,3
10. Jepang 7,3
11. Nigeria 2,4

Dengan gambaran tersebut di atas, Indonesia melaksanakan program wajib belajar mulai anak usia 6-15 tahun seperti halnya negara lain, hanya saja jika dilihat dari sisi persentase anggaran pendidikan terhadap PDB, Indonesia menempati urutan paling bawah yaitu hanya 1,4% sementara tertinggi adalah Jepang 7,3%.
Bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam (2,8%) masih tertinggal 50%. Sehingga secara dunia, kualitas pendidikan di Indonesia hanya berkisar pada ranking 114 sementara Vietnam pada urutan 101. Untuk diketahui, kualitas pendidikan nomor satu di dunia adalah Negara Finlandia.
Dengan memenuhi amanat konstitusi dan peningkatan kualitas pendidikan maka Indek Pembangunan Manusia (IPM) bangsa Indonesia akan meningkat. IPM Indonesia pada tahun 2006 berada pada peringkat 108 dunia sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini.


Peringkat IPM dari tahun 2001 s.d. 2006 (UNDP: Human Development Report) :


















Dari IPM tersebut di atas terlihat bahwa Indonesia hanya unggul satu poin dengan Vietnam sementara dengan negara lain Indonesia masih tertinggal.
Dengan semangat konstitusi, UU No. 20/2003, dan telah terbitnya PP No. 47/2008 dan PP No. 48/2008 maka kualitas pendidikan harus ditingkatkan, melalui prinsip equity, equality, dan efficiency.
Disamping itu, pemenuhan anggaran 20% dari APBN dan APBD dalam rangka mewujudkan wajib belajar tanpa dipungut biaya, peningkatan kualitas guru dan peningkatan kualitas pendidikan harus diwujudkan. Dengan peningkatan kualitas pendidikan tentu saja akan meningkatkan IPM. Konstitusi telah mengamanatkannya, maka tidak boleh tidak harus dipenuhi dan dijalankan secara konsekuen.
PENUTUP
Konstitusi, UU dan Pemerintah telah mendorong wajib belajar tanpa dipungut biaya. Komsi X DPR RI mempunyai sikap politik yang tidak berbeda dan menghendaki mulai TA 2009 pendanaan pendidikan untuk wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mengarah pada pendidikan tanpa pungutan biaya.
Setidaknya ada 3 (tiga) prinsip pendidikan yang harus terpenuhi yaitu: equity, equality dan efficiency. Diperlukan pemerataan pendidikan yang bermutu yang berkeadilan sehingga tidak menimbulkan kesenjangan kondisi sekolah di daerah.
Selain meningkatkan kualitas pendidikan melalui disparitas APK yang semakin mengecil dan peningkatan kualitas guru, yang perlu ditingkatkan adalah perbaikan ruang sekolah, pengadaan buku yang berkualitas, ruang lab, perpustakaan, penyediaan beasiswa, dan yang tak kalah penting adalah peningkatan kesejahteraan guru.

















Referensi
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar.
4. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
5. Depdiknas, Bahan Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dalam pembahasan RAPBN.
6. http://pk.sps.upi.edu/artikel_hamid.html.
7. Bappenas, Bahan rapat dalam pembahasan RAPBN.
8. World Development Indicator.
9. UNDP, Human Development Report.
10. Drg. H. Tonny Aprilani, Telaah Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan.
11. Prof. Dr. Sudigdo Adi, dr. SpKK (K), Peran Wakil Rakyat Dalam Mengalokasikan Sebagian dari Porsi 20% Anggaran Pendidikan Untuk Rumah Sakit Pendidikan.