Selasa, 03 Mei 2011

TOLAK KOMERSIALIASI PENDIDIKAN


Rasanya sudah tidak ada perdebatan lagi diantara semua kalangan bahwa pendidikan merupakan kebutuhan kolektif yang amat penting bagi masyarakat sebuah negara, dan sesuai dengan amanah konstitusi pihak yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan ini adalah Pemerintah.
Salah satu isu pendidikan yang akhir-akhir ini mendapat sorotan publik adalah masalah kebijakan. Kebijakan merupakan instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan akan berhasil apabila kebijakan yang dihasilkan tidak saja rasional tetapi juga partisipatif. Pengalaman di Indonesia menunjukan, bahwa kebijakan-kebijakan pendidikan yang lahir selalu tidak memuaskan semua pihak. Bahkan, tidak jarang bernasib jelek. Fakta memperlihatkan, banyak kebijakan pendidikan di Indonesia pada tingkat implementasi menimbulkan persoalan serius. Bukan saja tidak berhasil tetapi pada titik tertentu menimbulkan persoalan baru. Karena itu wajar, jika ada diantara anak bangsa kembali mempersoalkan kebijakan-kebijakan pendidikan. Bukankah ini pertanda ada kegetiran sebagai akibat logis dari gonta-ganti kebijakan, padahal kebijakan yang sifatnya makro diharapkan tidak sedemikian nasibnya. Pada tingkat implementasi menimbulkan kebingungan dan kehawatiran pada rakyat Indonesia, Apa yang bisa dikatakan atas kenyataan ini, padahal sudah berapa anggaran yang dihabiskan. Jujur, bahwa sejauh ini perumusan kebijakan kurang mempertimbangkan aspek kesejahteraan rakyat.
Apakah negara melalui policy maker-nya kurang cerdas sehingga melahirkan kebijakan yang kurang cerdas pula, ataukah terlalu begitu saja mempercayai model rasionalitas instrumen yang dianggap sebagai metodologi paling efektif dan efisien untuk mengintervensi lajunya permasalahan pendidikan.
Rasionalitas instrumen yang dikembangkan merupakan tameng akademis. Pada satu sisi menafikkan realitas Kesejahteraan Rakyat yang berada dalam situasi senjang. Tentu kita tidak bermimpi dan tidak akan mau bermimpi agar sekolah dijadikan laboratorium praktik sebuah pasar yang bersembunyi dibalik jubah birokrasi pendidikan tingkat pusat yang memang determinan.
Kepentingan pendidikan tersebut harus diletakkan dalam konteks keberagaman realitas yang memang senjang. Di sinilah akan tercipta parelelisme dengan proses pembebasan manusia. Namun karena kepentingan yang positivistik, maka birokrasi pendidikan ironis sering tercabut dari masyarakat dan berlakunya bersifat determinan terhadap komunitas pendidikan. Pimpinan birorasi pendidikan hanya merupakan representasi kepentingan penguasa. Akibatnya kebijakan yang dilahirkannya inkrementalis. Olehnya kita terus mengalami situasi keterjebakan dalam lingkaran lama.
Untuk keluar dari situasi keterjebakan ini sudah saatnya kalau kita merunjukpada model rasionalitas komunikatif. Sebab, bukankah pendidikan juga merupakan salah satu sektor publik yang dapat mengemansipasi warganya.
Berangkat dari hal itu seharusnya pemerintah harus cerdas, format sekolah bertaraf internasional(RSBI) yang dilakukan pemerintah tidak hanya membuat aparatus sekolah memaksakan diri mereka untuk segera berganti “papan nama”, tapi juga membuat kesenjangan sosial, sebab format sekolah bertaraf internasional membolehkan sekolah untuk memungut biaya operasional pendidikan kepada peserta didik dengan angka sangat mahal, maka sekolah ini hanya bisa dinikmati oleh kaum kaya.
Maka dengan sangat tegas kami mengatakan “TOLAK KOMERSIALISASI PENDIDIKAN ; DENGAN MENINJAU KEMBALI KEBIJAKAN RSBI, TERAPKAN ANGGARAN 20% PENDIDIKAN DI LUAR GAJI GURU, NASIONALISASI ASET STRATEGIS BANGSA DEMI KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN INDONESIA”.
Palembang, 2 Mei 2011
Kordinator Lapangan


Chandra Baturajo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar