Rabu, 04 Januari 2012

MENYOAL ANGGARAN PENDIDIKAN DALAM UPAYA MEMAJUKAN PENDIDIKAN NASIONAL

PENDAHULUAN
Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah ada hentinya. Sebab jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia itu sendiri (Suyanto, 2006:11). Maka baik pemerintah maupun masyarakat diharapkan selalu berupaya untuk melakukan pendidikan dengan standar dan kualitas yang diinginkan untuk memberdayakan manusia.
Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (2) mengamanatkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dalam rangka mewujudkan amanat konstitusi, DPR RI mempunyai fungsi dan wewenang penganggaran (budgeting), dimana dalam setiap pembahasan RAPBN selalu fokus untuk mewujudkan amanah UUD 1945 pasal 31 ayat (4) dan UU RI No. 20 thn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 ayat (1) yang menyatakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya adalah dua puluh persen dari APBN dan APBD.
Anggaran pendidikan sebesar 20% tahun ini (baru dicapai 20,1%) dari APBN 2009 sesungguhnya diawali dengan dorongan Komisi X DPR-RI terhadap Pemerintah untuk mewujudkan anggaran pendidikan sebesar 20% tersebut, guna menopang sekaligus mencapai tiga pilar pendidikan nasional yang termuat dalam Renstra Depdiknas, serta untuk mewujudkan program/prioritas kegiatan dalam rangka peningkatan kualitas pembangunan pendidikan.
Pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar (khususnya) sebagai amanat konstitusi yang diterjemahkan lebih lugas pada UU No. 20/2003, menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Dalam UU ini telah disebutkan secara afirmatif anak usia 6 (enam) tahun merupakan masa memasuki jenjang pendidikan dasar. Lebih lanjut ditegaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya {pasal 46 ayat (3) UU No. 20/2003, pasal 47 ayat (3), 48 ayat (2) dan 49 ayat (5)}. Artinya bahwa Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab besar dalam penjaminan terselenggaranya wajib belajar, terlebih pendidikan saat ini merupakan bagian dari otonomi daerah. Termasuk untuk mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai tindak lanjut amanat konstitusi dan UU No. 20/2003 tersebut, Pemerintah telah menerbitkan PP No.47 thn 2008 tentang Wajib Belajar dan PP No.48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan tgl 4 Juli 2008 sebagai bentuk implementasi operasional wajib belajar dan pendanaan pembangunan pendidikan di lapangan.






















PENDANAAN PENDIDIKAN
Untuk Pendanaan Pendidikan Pemerintah telah menerbitkan PP yaitu PP 48/2008. Dalam PP 48/2008 diatur tentang biaya pendidikan yang meliputi:
1. Biaya satuan pendidikan,
2. Biaya penyelenggaraan dan / atau pengelolaan pendidikan, dan
3. Biaya pribadi peserta didik.

Juga diatur tanggungjawab Pemerintah dan pemerintah daerah yaitu:
1. Pendanaan biaya investasi lahan dan biaya investasi selain lahan pendidikan, biaya personalia dan nonpersonalia untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
2. Pendanaan tambahan atas biaya investasi lahan dan biaya investasi selain lahan yang diperlukan untuk pemenuhan rencana pengembangan satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah.
3. Bantuan biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik: (i) yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya, dan (ii) yang berprestasi.
4. Membantu pendanaan biaya personalia dan nonpersonalia pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat.

Disamping itu, juga diatur tanggungjawab penyelenggara atau satuan pendidikan yaitu:
1. Pendanaan biaya investasi untuk lahan satuan pendidikan, biaya investasi selain lahan pendidikan, biaya personalia dan biaya nonpersonalia yang diselenggarakan masyarakat;
2. Pendanaan tambahan atas biaya investasi lahan dan biaya investasi selain lahan yang diperlukan untuk pemenuhan rencana pengembangan satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional dan atau berbasis keunggulan lokal yang diselenggarakan masyarakat;
3. Bantuan biaya pendidikan atau beasiswa kepada peserta didik:
a. yang orang tua atau walinya tidak mampu membiayai pendidikannya, dan
b. yang berprestasi.

Hal-hal lain yang diatur diantaranya adalah :
1. Peserta didik dan orang tua bertanggungjawab terhadap kekurangan pendanaan biaya investasi selain lahan, personalia dan nonpersonalia untuk satuan pendidikan menengah atas dan perguruan tinggi yang didirikan masyarakat,
2. Sumber pendanaan pendidikan bersumber dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat disesuaikan dengan kemampuan masing-masing,
3. Pungutan dana pendidikan dari peserta didik atau orang tua, sekurang-kurangnya 20% dari total dana pungutan digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan, dan
4. Pengalokasian dana pendidikan 20% dari APBN dan APBD diatur oleh MenKeu dan diberikan kepada pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam bentuk hibah.












ANGGARAN DEPDIKNAS
Sejak UU No. 20/2003 diundangkan sampai tahun anggaran 2008 (APBN-P 2008) faktanya belum pernah mencapai angka 20%, meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan No.: 24/PUU-V/2007 tanggal 20 Februari 2008 tentang Pengujian UU No. 20/2003 dan Pengujian UU RI Nomor: 18 Tahun 2006 tentang APBN 2007 terhadap UUD RI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa Pasal 49 ayat (1) UU No. 20/2003 sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan” bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD RI Tahun 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menyikapi amanah konstitusi, berbagai upaya telah dilakukan oleh Komisi X DPR-RI untuk memenuhi anggaran 20% pendidikan, diantaranya dengan melakukan Raker antara Komisi X DPR-RI dengan Menteri Koordinator Kesejahtaraan Rakyat, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Agama dan Menteri Keuangan pada hari Senin tanggal 4 Juli 2005.
Dengan menyadari keterbatasan keuangan negara untuk mencapai anggaran pendidikan nasional sebesar 20% dari APBN akan dilakukan secara bertahap. Keputusan Pemerintah dengan Komisi VI DPR-RI (1999-2004), menyepakati bahwa anggaran pendidikan adalah 6,6% pada tahun 2004 (sekitar Rp 20,5 triliun), menjadi 9,3% pada tahun 2005 (sekitar Rp 26,114 t), kemudian meningkat menjadi 12% pada tahun 2006 (sekitar Rp 40,255 t), selanjutnya menjadi 14,7% pada tahun 2007 (sekitar Rp 44,058 ), berikutnya menjadi 17,4 % pada tahun 2008 (sekitar Rp 45,254 t), dan terakhir 20,1% pada tahun 2009 (sebesar Rp 62,485 t). Dengan pengertian bahwa 20% APBN di atas dihitung dari Anggaran Belanja Pusat, yaitu: APBN dikurangi dengan Anggaran Daerah yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana bagi hasil pendapatan minyak dan gas bumi, serta sumber daya alam lain.
Formulasi besaran 20% dari APBN inipun menjadi persoalan tersendiri. Masih ada ketidak kesepakatan penentuan 20% untuk anggaran pendidikan antara DPR-RI dengan Pemerintah. Sehingga perlu ada persamaan persepsi terhadap anggaran pendidikan, dana pendidikan ataukah yang dimaksud adalah anggaran atau dana fungsi pendidikan? Ketiga definisi ini akan berbeda ketika dimunculkan dalam bentuk angka-angka. Belum lagi, penentuan perhitungan sebagai pembilang maupun pembagi. Dengan formulasi yang berbeda, maka Pemerintah dapat mengklaim bahwa anggaran pendidikan telah mencapai 20%.
Mengingat adanya perbedaan formulasi perhitungan besaran 20% antara Komisi X DPR-RI dengan Pemerintah, Komisi X DPR-RI pernah membentuk Panja Anggaran Pendidikan 20% yang pada tanggal 24 September 2007 memberikan rekomendasi diantaranya yaitu:
a. Agar definisi anggaran pendidikan dimasukkan di dalam ketentuan umum UU APBN 2008 dan,
b. Agar Komisi X DPR-RI menyampaikan kepada Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR-RI untuk meningkatkan anggaran pendidikan sesuai dengan amanah konstitusi.

Politik anggaran tersebut, utamanya merujuk pada tiga pilar kebijakan pendidikan yang tertuang dalam Renstra Depdiknas 2005-2009 yaitu:
1. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan,
2. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan, dan
3. Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan.

Untuk mewujudkan pendidikan bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau oleh rakyat secara umum, pada RAPBN TA 2009 masih berorientasi pada penuntasan wajar dikdas 9 tahun. Ini dapat terlihat pada anatomi anggaran yang lebih berbentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Murid (BOM), Ruang Kelas Baru (RKB), Unit Sekolah baru (USB), bansos dan lain sebagainya yang pada intinya lebih mengedepankan pada akses pendidikan dasar dan menengah. Dari alokasi anggaran tersebut di atas, hampir 50% dialokasikan untuk penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
ANGGARAN PENDIDIKAN UNTUK PENDIDIKAN TINGGI
Dari 7 (tujuh) unit utama di Depdiknas yang mendapat alokasi dana terbesar adalah Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen MPDM), kemudian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Ditjen MPDM mendapat alokasi dana sejumlah Rp 25,030 T dan Ditjen Dikti sejumlah Rp 18,475 T untuk tahun anggaran 2009. Sedangkan alokasi anggaran untuk PNFI Rp 2,462 T dan Balitbang sebesar Rp 1,0 T.
Untuk anatomi anggaran Dikti tahun 2008 tergambar pada tabel di bawah ini.













Dengan anatomi anggaran Dikti seperti tersebut di atas, maka peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan sangat rendah. Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi pada pilar pemerataan dan perluasan akses bagi penduduk usia 19-24 tahun yang berjumlah sekitar 25 juta untuk menjadi mahasiswa atau masuk perguruan tinggi, APK pada tahun 2005 hanya 15,26%, 2006 APK 16,91% dan 2007 APK 17,26%. Dibandingkan dengan Negara China sudah mencapai 20,3%, Philippina 28,1%, Malaysia 32,5%, Thailand 42,7% dan Korea 91%.












Membandingkan program wajib belajar yang dilaksanakan dibeberapa negara dan persentase anggaran pendidikan terhadap PDB tergambar sbb (World Development Indicator 2003) :

NEGARA COMPULSARY TINGKAT
1. Indonesia 6-15 tahun SMP
2. Malaysia 6-15 tahun SMP
3. Singapura 6-15 tahun SMP
4. Thailand 6-15 tahun SMP
5. Philipina 6-15 tahun SMP
6. Brunei 6-17 tahun SMA
7. Australia 6/7 -16 tahun Kelas 10
8. Canada 6-21 tahun Perguruan Tinggi
9. Amerika 6-16 tahun Kelas 10
NEGARA PERSENTASE ANGGARAN
1. Indonesia 1,4
2. Vietnam 2,8
3. Srilangka 3,4
4. Philipina 3,4
5. Brunai 4,4
6. Thailand 5,0
7. India 5,1
8. Malaysia 5,2
9. Korea Selatan 5,3
10. Jepang 7,3
11. Nigeria 2,4

Dengan gambaran tersebut di atas, Indonesia melaksanakan program wajib belajar mulai anak usia 6-15 tahun seperti halnya negara lain, hanya saja jika dilihat dari sisi persentase anggaran pendidikan terhadap PDB, Indonesia menempati urutan paling bawah yaitu hanya 1,4% sementara tertinggi adalah Jepang 7,3%.
Bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam (2,8%) masih tertinggal 50%. Sehingga secara dunia, kualitas pendidikan di Indonesia hanya berkisar pada ranking 114 sementara Vietnam pada urutan 101. Untuk diketahui, kualitas pendidikan nomor satu di dunia adalah Negara Finlandia.
Dengan memenuhi amanat konstitusi dan peningkatan kualitas pendidikan maka Indek Pembangunan Manusia (IPM) bangsa Indonesia akan meningkat. IPM Indonesia pada tahun 2006 berada pada peringkat 108 dunia sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini.


Peringkat IPM dari tahun 2001 s.d. 2006 (UNDP: Human Development Report) :


















Dari IPM tersebut di atas terlihat bahwa Indonesia hanya unggul satu poin dengan Vietnam sementara dengan negara lain Indonesia masih tertinggal.
Dengan semangat konstitusi, UU No. 20/2003, dan telah terbitnya PP No. 47/2008 dan PP No. 48/2008 maka kualitas pendidikan harus ditingkatkan, melalui prinsip equity, equality, dan efficiency.
Disamping itu, pemenuhan anggaran 20% dari APBN dan APBD dalam rangka mewujudkan wajib belajar tanpa dipungut biaya, peningkatan kualitas guru dan peningkatan kualitas pendidikan harus diwujudkan. Dengan peningkatan kualitas pendidikan tentu saja akan meningkatkan IPM. Konstitusi telah mengamanatkannya, maka tidak boleh tidak harus dipenuhi dan dijalankan secara konsekuen.
PENUTUP
Konstitusi, UU dan Pemerintah telah mendorong wajib belajar tanpa dipungut biaya. Komsi X DPR RI mempunyai sikap politik yang tidak berbeda dan menghendaki mulai TA 2009 pendanaan pendidikan untuk wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mengarah pada pendidikan tanpa pungutan biaya.
Setidaknya ada 3 (tiga) prinsip pendidikan yang harus terpenuhi yaitu: equity, equality dan efficiency. Diperlukan pemerataan pendidikan yang bermutu yang berkeadilan sehingga tidak menimbulkan kesenjangan kondisi sekolah di daerah.
Selain meningkatkan kualitas pendidikan melalui disparitas APK yang semakin mengecil dan peningkatan kualitas guru, yang perlu ditingkatkan adalah perbaikan ruang sekolah, pengadaan buku yang berkualitas, ruang lab, perpustakaan, penyediaan beasiswa, dan yang tak kalah penting adalah peningkatan kesejahteraan guru.

















Referensi
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar.
4. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
5. Depdiknas, Bahan Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dalam pembahasan RAPBN.
6. http://pk.sps.upi.edu/artikel_hamid.html.
7. Bappenas, Bahan rapat dalam pembahasan RAPBN.
8. World Development Indicator.
9. UNDP, Human Development Report.
10. Drg. H. Tonny Aprilani, Telaah Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan.
11. Prof. Dr. Sudigdo Adi, dr. SpKK (K), Peran Wakil Rakyat Dalam Mengalokasikan Sebagian dari Porsi 20% Anggaran Pendidikan Untuk Rumah Sakit Pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar